UPAYA MENUMBUHKAN
BUDAYA BACA DI SEKOLAH DASAR
Oleh : Dini Indriani,
M.Pd
Sekolah Dasar sebagai bagian dari pendidikan
dasar sembilan tahun merupakan lembaga pendidikan pertama yang menekankan siswa
belajar membaca, menulis, dan berhitung. Kecakapan ini merupakan landasan,
wahana, dan syarat mutlak bagi siswa untuk belajar menggali dan menimba ilmu
pengetahuan lebih lanjut. Tanpa penguasaan tersebut bagi siswa akan mengalami
kesulitan menguasai ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1991/1992:11).Minat baca pada
dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan
sesuatu diluar diri, semakin kuat hubungan tersebut maka semakin kuat minatnya.
Rendahnya minat baca dikalangan anak diapat disebabkan oleh kondisi keluarga
yang tidak mendukung, terutama dari orang tua yang kurang memberikan contoh
kegemaran membaca kepada anak. Selain itu kurangnya perhatian dan pengawasan
orang tua mereka terhadap kegiatan anaknya selama kegiatan belajar di sekolah, hal
ini disebabkan kurangnya konsep pendidikan yang diterapkan oleh orang tua. Lingkungan sangat
berpengaruh terhadap minat baca anak, karena pengaruh ajakan teman main yang
begitu kuat, anak akan lebih memilih bermain dengan teman-temannya dibandingkan dengan membaca buku.
Ajip Rosidi (1973:18) mengatakan bahwa
pembinaan minat baca bagi masyarakat Indonesia dapat dibina sejak mereka masih
anak-anak (TK, Sekolah Dasar, dan terus sampai SLTP/SLTA).JIKa pembinaan minat
baca tidak dimulai sejak dini, maka besar kemungkinan setelah besar pun tetap
tidak gemar membaca.Kalaupun gemar membaca maka bahan bacaan yang dipilih hanya
berkisar pada buku bacaan hiburan.Oleh karena itu masalah minat baca siswa
Sekolah Dasar perlu mendapat perhatian.
Seorang ahli psikologi dari Swiss,Jean Piaget
mengatakan bahwa anak usia 0-12 tahun dikategorikan usia golden age dimana mereka akan sanagt mudah menyerap informasi dan
meniru prilaku orang-orang di sekitarnya, maka sebagai guru tentu kita harus
bisa memanfaatkan usia golden age ini
untuk menanamkan nilai-nilai dan kebiasaan baik pada anak-anak sehingga pada
saat dewasa karakter baik ini akan tetap melekat pada diri mereka.
Menurut Havighurts masa anak-anak usia 6-12 tahun memiliki tugas
perkembangan untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam membaca. Dalam
meningkatkan kemampuan untuk membaca tersebut seorang anak perlu didampingi
oleh orang lain. Pendampingan bisa dilakukan oleh orang tua sebagai orang
terdekat, guru, dan semua orang di lingkungan terdekat yang mampu mendampingi
anak dalam menumbuhkan minat bacanya.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang cepat
disegala bidang, menyadarkan kita bahwa tugas sekolah tidak cukup jika hanya
melatih ingatan dan kemahiran dalam beberapa mata pelajaran saja. Materi
pelajaran tidak bisa lagi hanya dibatasi pada isi buku pelajaran saja.Guru
tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang mengajarkan ilmunya
dari buku pelajaran saja, tetapi guru juga harus memberikan kesempatan pada
siswanya untuk ikut aktif dalam usaha membuka pikirannya, mengembangkan
bakatnya dan membiasakan anak memperkaya pengetahuannya dengan usahanya sendiri melalui kegemaran membaca.
Kemampuan membaca (Reading Literacy) anak-anak atau siswa-siswa Indonesia sangat
rendah bila dibandingkan dengan anak-anak atau siswa-siswa di negara-negara
berkembang lainnya. Kemampuan membaca (Reading
Literacy) anak-anak Indonesia
sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan
dalam kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of
Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca
murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa
Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke
30 (Totong,1998:9).
Buruknya kemampuan membaca anak-anak kita
sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan
bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in
International Mathematies and Science Study (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50
negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi
siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang
matematika dengan nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467.
Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki
peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474.
Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki
peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika yang memperoleh nilai 508 di
atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka
menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional.
Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh
ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.
Melihat keadaan seperti ini, untuk meningkatkan
minat membaca, maka pemerintah Indonesia membentuk Gerakan Literasi Sekolah
(GLS). Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah sebuah upaya yang dilakukan secara
menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi
pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik
mulai dari semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, dari tingkat pusat,
provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan (peserta didik,guru,kepala
sekolah, tenaga kependidikan , pengawas
sekolah) juga melibatkan komite sekolah, orang tua/wali murid peserta
didik, akademisi, penerbit, media massa, dan masyarakat.
Sugiharti (1997:39) menyatakan bahwa minat baca
anak Indonesia tergolong paling rendah di dunia.Diperkirakan hanya sekitar 10%
anak Indonesia yang tergolong kelompok gemar membaca.
Pada
anak-anak membaca akan membantu menumbuhkan budi pekerti atau karakter,seperti
menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama, menumbuhkan rasa kasih sayang, dan perilaku-perilaku
lainnya sesuai dengan pesan moral yang ada di dalam buku yang dibacanya. Hal
ini sangat penting dalam membangun karakter anak.
Ketika anak membaca dongeng, misalnya Si Kancil
dan Tikus,maka mereka bisa mengambil pesan moral pada cerita itu, bahwa kita
harus tolong menolong pada sesama teman. Orang yang sering membantu akan
disukai oleh orang lain.Menjadi orang yang sering membantu akan membuat kita
sukses dan bahagia dimasa yang akan datang.Pesan moral dari sumber bacaan
seperti ini akan membangun persepsi atau mindset berpikir anak yang nantinya
akan mengendap di otak bawah sadar dan melahirkan prilaku atau karakter yang
baik.Hal ini harus ditunjang dengan sumber bacaan atau buku yang dibaca oleh
anak harus terlebih dahulu diseleksi oleh orang tua dan guru.
Di sekolah sudah mulai dibudayakan membaca di
kelas dalam waktu lima belas menit sebelum memulai pembelajaran. Tetapi tanpa
peran guru di kelas maka hal ini tidak akan berjalan sesuai tujuan, karena guru
sebagai agen perubahan harus ikut secara aktif dalam menumbuhkan budaya baca di
sekolah dimana guru itu mengabdi.
Langkah pertama yang bisa dilakukan oleh seorang guru adalah
memulai dari diri sendiri. Salah satu kompetensi guru adalah kompetensi
professional yang merupakan wujud nyata atas materi pelajaran secara luas dan
mendalam,mampu mempresentasikan dan memperkaya wawasannya dengan membaca
bacaan-bacaan yang bermutu. Membaca dapat dilakukan di mana saja dan kapan
saja. Ketika membaca sudah menjadi budaya pada diri seorang guru, maka tidaklah
sulit untuk menularkan dan memberikan contoh membaca pada siswanya. Guru
merupakan teladan bagi siswanya,maka akan sangat sulit jika menginginkan
siswanya gemar membaca,sementara gurunya tidak suka membaca.
Langkah kedua,dengan adanya Permendikbud
RI Nomor 23 Tahun 2015 tentang wajib Penumbuhan Budi Pekerti melalui Gerakan
Literasi Sekolah (GLS),pada tahap pembiasaan harus ada kegiatan membaca buku
non pelajaran selama 15 menit sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Kegiatan
ini harus benar-benar bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan minat baca siswa.Pada
saat siswa diprbolehkan untuk membaca buku sesuai keinginannya,maka hal ini
akan memberikan kesenangan tersendiri bagi siswa. Mereka bisa menyalurkan rasa
ingin tahunya melalui buku yang disukainya.Pihak sekolah dan guru cukup
membantu menyediakan buku-buku yang sesuia dengan keinginan mereka di setiap
kelas,atau mengintruksikan kepada siswa untuk membawa buku koleksi pribadinya
dari rumah,yang tentunya sudah diseleksi oleh orang tua dan gurunya.Di kelas
bisa juga difasilitasi dengan memberikan perpustakaan kelas atau pojok
literasi, sehingga siswa lebih mudah untuk membaca buku kapanpun mereka mau.
Kebiasaan membaca lima belas menit
sebelum pembelajaran sudah pasti akan memberikan dampak yang besar kepada
siswa, selain minat meningkatkan dan memotivasi siswa dalam menulis, program
ini juga menimbulkan dampak kebiasaan maksudnya siswa yang semula tidak
menyukai atau tidak gemar membaca, karena tuntutan dan kewajiban untuk membaca
sebelum pembelajaran dimulai, maka mau tidak mau mereka akan membaca bahan
bacaan yang mereka sukai. Gerakan membaca lima belas menit ini juga dapat
mencetak pustakawan cilik di perpustakaan mini di kelasnya, yang diharapkan
dapat menjadi generasi yang mampu melestarikan budaya baca dan mencintai buku,
serta mengajak siswa lain untuk gemar membaca.Yang dilakukan pustakawan cilik
antara lain adalah sebagai operator peminjaman buku maupun pengembalian buku
dan merapikan buku di rak buku. Guru bisa memberikan reward pada pustakawan cilik antara lain sertifikat,pin,atau piala.
Langkah ketiga, dengan merancang
kegiatan membaca yang menyenangkan dan mengasyikan, sehingga kegiatan membaca
bukan merupakan beban. Misalnya mengadakan tantangan membaca 1000 halaman
setiap 3 bulan sekali atau persemester. Pada kegiatan ini siswa yang mencapai
target akan mendapatkan hadiah berupa buku. Pihak sekolah bisa juga mengundang
perpustakaan keliling, mobil pintar,atau komunitas-komunitas perpustakaan yang
ada di masyarakat. Pada kegiatan ini siswa, guru, kepala sekolah, dan semua
warga sekolah bisa membaca bersama-sama dengan suasana santai dan
menyenangkan.Agar suasana lebih menarik, kegiatan ini diisi dengan pemberian door prize berupa buku bagi siswa yang
dapat menceritakan kembali isi buku yang dibacanya, atau bisa menjawab
pertanyaan seputar buku fiksi maupun non fiksi.
Langkah Keempat, dengan membuat pohon
literasi,dimana di pohon tersebut di setiap rantingnya di gantungi selembar
kertas misalnya berbentuk daun dengan nama siswa,judul buku,dan
pengarangnya.Ranting yang paling banyak daunnya akan mendapat reward berupa buku. Bisa juga diadakan
lomba mendongeng antar siswa. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan
semangat membaca buku pada siswa secara berkelanjutan dan memacu siswa untuk
membaca dengan lebih intensif.
Langkah kelima, pada saat-saat tertentu
kita bisa menghadirkan pendongeng atau penulis buku terutama buku-buku cerita
anak. Hal ini akan semakin menguatkan dan meyakinkan siswa bahwa membaca selain
menyenangkan dan mengasyikan juga member manfaat besar untuk kesuksesan mereka
di masa yang akan datang.
Jika langkah-langkah ini bisa kita
lakukan,maka kita selain mendukung program pemerintah dengan Gerakan Literasi
Sekolah,juga menanamkan budaya baca pada siswa Sekolah Dasar, sehingga secara
perlahan tapi pasti Indonesia akan menjadi Negara besar dengan peradaban tinggi
yang bisa merubah posisi tingkat literasinya menjadi lebih tinggi dari
Negara-negara lain, tidak hanya menempati posisi ke-60 dari 61 negara.
Daftar Pustaka
Depdikbud,
1991/1992. Petunjuk Pengajaran Membaca Menulis di Kelas III-IV Sekolah
Dasar. Jakarta: Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Rosidi,
Ajip, 1973. Pembinaan Minat Baca
Apresiasi dan Penelitian Sastra. Jakarta: Panitia Tahun Buku Nasional
Sugihartati,
Rahma. 1997. Perilaku dan Kebiasaan
Anak Gemar Membaca (Kasus Keluarga Perkotaan di Surabaya). Jakarta: LP3S.
Totong,
1998. Membaca Merupakan Suatu Kebutuhan. Mutu Media Komunikasi dan Informasi
Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar.Volume VI (04)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar